Degradasi Pendidikan Islam Era Revolusi Industri 4.0
doc:militan.co |
Oleh : Ihsaan Hanafi
Mahasiswa
Pendidikan Kimia UIN Walisongo Semarang dan peneliti di Lembaga Study Agama dan
Nasional
Seiring dengan perkembangan
zaman, tantangan dan hambatan pendidikan Islam terus mengalami
perkembangan dan perubahan. Jika pada beberapa dekade silam percakapan akrab
antara peserta didik dengan guru terasa tabu, maka hari ini justru merupakan
sesuatu yang wajar. Bahkan dalam pandangan teori pendidikan modern, hal itu
merupakan sebuah keharusan. Interaksi semacam itu justru menjadi indikasi
keberhasilan proses pendidikan.
Pergeseran paradigma lainnya
misalnya dalam hal pendekatan pembelajaran. Pada era pendidikan Islam
tradisional, guru menjadi figur sentral dalam kegiatan pembelajaran. Ia
merupakan sumber pengetahuan utama di dalam kelas, bahkan dapat dikatakan
satu-satunya. Namun dalam konteks pendidikan Islam modern, hal demikian tidak
berlaku lagi. Peran guru hari ini telah mengalami pergeseran, yakni sebagai
fasilitator bagi peserta didik. Pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru (teacher
centered), namun lebih berpusat pada peserta didik (student
centered).
Pergeseran dan perubahan
sebagaimana sedikit digambarkan di atas, merupakan keniscayaan yang tidak
terelakkan. Hal ini disebabkan dari waktu ke waktu tuntutan dan kebutuhan
manusia terus mengalami perubahan. Hari ini, pengetahuan luas saja tidak bisa
menjamin seorang lulusan dapat bicara banyak dalam persaingan global.
Diperlukan pula keahlian spesifik yang selaras dengan kebutuhan lapangan. Jika
tidak demikian, maka lulusan pendidikan akan terlindas dan tersingkirkan.
Lebih-lebih saat ini dunia telah memasuki era baru, yakni Era Revolusi Industri
4.0.
Buah dari revolusi industri 4.0
adalah munculnya fenomena disruptive innovation. Dampak dari
fenomena ini telah menjalar di segala bidang kehidupan. Mulai industri,
ekonomi, pendidikan, politik, dan sebagainya. Fenomena ini juga telah berhasil
menggeser gaya hidup (life style) dan pola pikir (mindset)
masyarakat dunia. Disruptive innovation secara sederhana dapat
dimaknai sebagai fenomena terganggunya para pelaku industri lama (incumbent)
oleh para pelaku industri baru akibat kemudahan teknologi informasi.
Merujuk hasil penelitian dari
McKinsey pada 2016 bahwa dampak dari digital tecnology menuju
revolusi industri 4.0 dalam lima (5) tahun kedepan akan ada 52,6 juta jenis
pekerjaan akan mengalami pergeseran atau hilang dari muka bumi. Hasil penelitian
ini memberikan pesan bahwa setiap diri yang masih ingin mempunyai eksistensi
diri dalam kompetisi global harus mempersiapkan mental dan skill yang
mempunyai keunggulan persaingan (competitive advantage) dari lainnya.
Jalan utama mempersiapkan skill yang paling mudah ditempuh adalah
mempunyai perilaku yang baik (behavioral attitude), menaikan
kompetensi diri dan memiliki semangat literasi. Bekal persiapan diri tersebut
dapat dilalui dengan jalur pendidikan (long life education) dan konsep
diri melalui pengalaman bekerjasama lintas generasi/lintas disiplin ilmu (experience
is the best teacher).
Menurut Rasidin, ada empat
faktor menyebabkan pendidikan Islam kerap mendapatkan kritik tajam. Pertama,
cultural lag atau gap budaya. Hal ini disebabkan terjadinya ketimpangan
antara kecepatan perkembangan IPTEK dengan kecepatan perkembangan pendidikan.
Laju akselerasi perkembangan IPTEK tersebut tidak diiringi dengan upaya
pendidikan Islam untuk turut berakselerasi. Akibatnya, pendidikan Islam kurang
responsif terhadap dinamika perubahan sosial masyarakat. Sehingga menjadi
keniscayaan bila proses pendidikan di dalamnya menjadi kurang kontekstual.
Kedua, stigma kelas
dua. Faktor kedua ini dapat dikatakan sebagai akibat secara tidak langsung dari
faktor pertama. Kelambatan pendidikan Islam dalam merespon dinamika
perkembangan IPTEK dan realitas sosial menyebabkan stigma second class nyaman
tersemat padanya.
Ketiga, dikotomisasi
ilmu. Sampai dengan saat ini dikotomi antara ilmu Islam (PAI) dengan ilmu umum
(IPA, IPS, Bahasa-Humaniora) masih menjadi pekerjaan rumah pendidikan Islam.
Meski telah banyak dilakukan upaya integrasi antara keduanya, namun belum
menunjukkan hasil yang signifikan.
Keempat, dualisme
politik. Tarik ulur kepentingan antara dua lembaga pemangku kebijakan
pendidikan di negeri ini kerap menimbulkan polemik di kalangan grass root.
Era Revolusi Industri 4.0
(selanjutnya: Era 4.0) membawa dampak yang tidak sederhana. Ia berdampak pada
seluruh aspek kehidupan manusia. Termasuk dalam hal ini adalah pendidikan. Era
ini ditandai dengan semakin sentralnya peran teknologi cyber dalam
kehidupan manusia. Maka tak heran jika dalam dunia pendidikan muncul istilah
“Pendidikan 4.0”.
Pendidikan 4.0 (Education
4.0) adalah istilah umum digunakan oleh para ahli pendidikan untuk
menggambarkan berbagai cara untuk mngintegrasikan teknologi cyber baik
secara fisik maupun tidak ke dalam pembelajaran. Ini adalah lompatan dari
pendidikan 3.0 yang menurut Jeff Borden mencakup pertemuan ilmu saraf,
psikologi kognitif, dan teknologi pendidikan. Pendidikan 4.0 adalah fenomena
yang merespons kebutuhan munculnya revolusi industri keempat dimana manusia dan
mesin.
Demi menyongsong Pendidikan
Islam 4.0, maka mau tidak mau semua permasalahan laten di atas harus mampu
dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, maka akan sulit−jika enggan berkata
mustahil−mewujudkan pendidikan Islam yang kontekstual terhadap zaman. Oleh
sebab itu, sebagaimana diutarakan di atas, perlu adanya reformasi dan pembaruan
terhadap segenap aspek dalam pendidikan Islam. Wallahu a’lam.
Sumber: Militan.co
Comments
Post a Comment