Rekontekstualisasi Jihad Santri Masa Kini



Penulis : Mufidatul Munawaroh
 Santri Asrama Muslimat NU Jawa Tengah dan Kader HMI Komisariat Persiapan Saintek angkatan 2017
 Santri harus memiliki semangat belajar yang tinggi dengan tidak hanya memperdalam ilmu-ilmu yang berorientasi pada akhirat saja. Tetapi juga berusaha menguasai ilmu pengetahuan modern yang mendukung jihad di era modern sekarang ini.
Sidang Paripurna DPR telah mengesahkan RUU Pesantren menjadi UU Pesantren pada (24/10/2019) lalu. Konsekuensi logisnya adalah penyetaraan pendidikan di pesantren dengan lembaga formal seperti sekolah pada umumnya. Dengan demikian, alumni pesantren memiliki status dan peluang kerja yang sama dengan mereka yang bersekolah di lembaga formal. Pengesahan UU Pesantren ini dinilai menjadi kado indah bagi kaum santri menyambut Hari Santri Nasional tahun 2019.
Terlepas dari beragam kontroversinya, peranan para santri dalam perjuangan bangsa Indonesia tak terelakkan. Mereka memiliki posisi fundamental dalam perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat pahlawan nasional banyak berasal dari kalangan santri. Soekarno, Moh. Hatta, Pangeran Diponegoro, Jenderal Soedirman, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Buya Hamka, Wahid Hasyim adalah beberapa contoh santri paripurna dalam mengabdi, bahkan tak segan menyerahkan jiwanya demi mempertahankan bangsa Indonesia.
Tercatat dalam sejarah, paska kemerdekaan, Belanda kembali melancarkan agresi militer kedua dengan membonceng sekutu. Keadaan ini membuat Hadrotussyeikh Hasyim Asy’ari turun gunung dengan mengeluarkan fatwa jihad bahwa hukum melawan penjajah adalah fardlu ‘ain (wajib bagi setiap orang) yang kemudian mencetuskan Revolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Fatwa jihad ini berakibat pada terbakarnya semangat kaum santri dan rakyat untuk ikut mengangkat senjata berjuang melawan penjajah. Rangkaian sejarah inilah yang mendasari penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Zaman kekinian, sudah tidak ada lagi perang fisik yang mengharuskan mengangkat senjata. Kalangan santri yang sejak dulu ikut berjihad dalam pertempuran dahsyat melawan penjajah saat ini dihadapkan pada pertempuran lebih dahsyat, yaitu melawan kebodohan. Santri harus memiliki semangat belajar yang tinggi dengan tidak hanya memperdalam ilmu-ilmu yang berorientasi pada akhirat saja. Tetapi juga berusaha menguasai ilmu pengetahuan modern yang mendukung jihad di era modern sekarang ini. Karena pada hakikatnya, semua ilmu merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan (Unity of Sciences).
Sering disampaikan oleh duta baca Indonesia, Najwa Shihab, menurut World’s Literate Nations (WMLN) Indonesia menempati ranking 60 dari 61 negara yang di survey dalam tingkat minat baca. Dari fenomena ini, kalangan santri harus memiliki kesadaran bahwa literasi sangatlah penting. Seseorang mejadi mengerti banyak hal salah satunya adalah karena membaca. Santri bisa berjihad dalam hal literasi misalnya dengan aktif menulis di media, menulis buku dan lain sebagainya. Karena seseorang tidak akan terampil dalam menulis bila tanpa dibekali dan diperkaya informasi melalui kegiatan membaca terlebih dahulu.
Semakin banyak membaca sama saja dengan usaha melawan kebodohan. Sebab, hulu dari kejahilan adalah persoalan kemiskinan. Sesuai 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan PPB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), meniadakan kemiskinan menjadi poin pertama dalam SDGs (Sustainable Development Goals) atau di Indonesia dikenal dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, kaum santri harus berperan aktif menyukseskan tujuan ini.
Disamping itu, dunia yang saat ini telah memasuki Revolusi Industri 4.0 dimana manusia sudah sedemikian dimudahkan oleh teknologi. Dengan kecanggihan teknologi yang ada, tantangan yang dihadapi juga kian berat. Penguasaan terhadap teknologi mutlak diperlukan jika tidak ingin tertinggal zaman. Menjadi santri yang melek teknologi rasanya tidak akan mengurangi ke-santri-an seorang santri.
Padahal, kecanggihan teknologi yang tidak dimanfaatkan secara bijak dapat menimbulkan kekacauan besar. Seperti yang terjadi sekarang ini, banyak sekali berita hoax yang tersebar dengan mudah berkat bantuan teknologi. Informasi dengan tujuan memprovokasi dan memecah belah persatuan, konten-konten nirfaedah yang sudah telanjur menyebar harus dilawan. Kalangan santri harus lebih kreatif membuat serta menyebarkan konten-konten sarat makna sebagai sumber terpercaya tanpa hoax. Istilah tabayyun (klarifikasi) yang tidak asing lagi bagi santri harus selalu dibiasakan sebelum menyebarkan informasi. Ringkasnya, saring dahulu sebelum sharing.
Perjuangan santri akan terus berlanjut mengikuti arus perkembangan zaman. Momentum Hari Santri Nasional tidak cukup diperingati hanya dengan seremonial belaka. Tetapi menjadi pengingat bahwa jihad pada masa kini tidak harus diaktualisasikan dengan ikut berperang. Sungguh-sungguh belajar, memanfaatkan teknologi dengan bijak, hati-hati dalam menyebarkan informasi misalnya, dapat juga dikatakan sebagai jihad seorang santri di masa kini. Wallahualam bis as-shawab
(Dimuat pada koran tribun jateng pada 17/10/19)



Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jenjang Pendidikan Formal Kader HMI

Implementasi Bersyukur dan Ikhlas dalam Meneguhkan Qalbu

Keteraturan Alam Semesta