Beradu "Takdir" di Tengah Pandemi yang Tidak Kunjung Berakhir

(Foto / Oleh Firman)

Pandemi Covid-19 atau virus Corona yang belum usai, mengakibatkan lockdown tetap diterapkan pemerintah untuk meminimalisir jatuhnya banyak korban. Namun, kebijakan yang diambil ternyata menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Terdapat pelbagai kekurangan di sana-sini yang memerlukan perhatian khusus sehingga harus dikaji ulang. Bagaimana tidak membuat resah masyarakat? Lockdown yang diberlakukan dirasa sangat memberatkan, karena tidak ada kejelasan atau kepastian kapan akan berakhir.

Rakyat Indonesia merasakan sendiri dampak besar dari lockdown yang terhitung sudah dijalankan lebih dari satu bulan. Mereka yang kaya atau berpenghasilan lebih dari cukup, mungkin dapat merasa sedikit tenang, tapi bagaimana dengan rakyat menengah ke bawah yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sesuap nasi saja? Mereka justru harus berjuang di luar, kerja banting tulang saat pandemi ini agar anak-anak mereka tidak kelaparan.

Namun, upaya mereka untuk terus bekerja ternyata tidak mendapat sambutan baik. Mereka yang semula bekerja di perusahaan formal maupun informal, harus gigit-gigit jari lantaran terdampak PHK atau dirumahkan. Dinas Ketenagakerjaan menyebut total buruh yang di PHK dan dirumahkan hingga sekarang terhitung lebih dari 1,9 juta jiwa. Bayangkan, betapa mereka kebingungan mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ada yang banting setir dengan membuka warung kecil-kecilan, konter, dan sebagainya. Namun, tidak sedikit pula yang menganggur di rumah karena sulitnya mendapat sepeser uang meskipun sudah berusaha.

Di sisi lain, tepat pada hari ini yaitu tanggal 1 Mei, dunia tengah memperingati Hari Buruh Internasional, tidak terkecuali Indonesia. Namun, nampaknya para buruh tidak lagi menggelar aksi demo yang biasa dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Selain karena dilarang pemerintah, tapi juga adanya kesadaran untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19 di masyarakat. Mereka tetap stay at home dengan tujuan agar kondisi cepat membaik dan pandemi segera berakhir.

Baca juga: Menuai Rindu

MPBI atau Majelis Pekerja Buruh Indonesia sebagai organisasi persatuan yang menaungi tiga organisasi buruh terbesar di Indonesia, menginstruksikan kepada para buruh untuk tetap memeringati Hari Buruh meskipun Indonesia masih diguncang pandemi. Peringatan yang dilakukan adalah dengan melakukan aksi kampanye virtual di media sosial dengan mengusung tiga isu May Day (Hari Buruh), yaitu: tolak omnibus law, stop PHK, dan liburkan buruh dengan upah dan THR penuh.

Isu tersebut diajukan karena mengingat banyaknya buruh yang di PHK dan dirumahkan akibat lockdown yang dijalankan secara mendadak dan kurang peninjauan. Alhasil, para buruh yang sebelumnya memang kurang mendapat kesejahteraan menjadi semakin sengsara. Mereka harus beradu dengan takdir agar mampu melangsungkan kehidupan mereka. Apabila ditanya, apakah mereka tidak takut dengan virus Corona? Mungkin jawaban mereka adalah tidak, karena yang mereka pikirkan adalah bagaimana masa depan mereka dan apa yang akan dimakan esok hari.

Peran Pemerintah

Melihat situasi yang terjadi di masyarakat, pemerintah segera meluncurkan kartu pra kerja yang diberikan kepada para buruh terdampak PHK maupun yaang dirumahkan. Kartu pra kerja ini hadir dalam bentuk pelatihan-pelatihan dan insentip dengan total Rp. 3,55 juta bagi setiap kepala. Selain itu, pemerintah tidak terkecuali presiden sendiri juga turut membagi-bagikan sembako secara gratis kepada masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah, agar dapat meringankan kebutuhan pokok mereka.

Namun, apakah hanya dengan hal tersebut, rakyat merasakan sejahtera yang sesungguhnya? Tidak. Apa yang dilakukan memang sedikit membantu, tapi itu hanya bersifat sementara saja. Bagaimana dengan kehidupan jangka panjang mereka? Rasanya tidak mungkin apabila pemerintah senantiasa memenuhi kebutuhan pokok rakyat setiap hari dari Sabang sampai timur Indonesia. Sebab dana yang dimiliki negara juga terbatas, pun hutang negara Indonesia semakin membengkak setiap tahunnya.

Pemerintah sebagai pihak yang menginstruksikan kebijakan lockdown, seharusnya juga memahami apa saja dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut, apakah menguntungkan atau malah merugikan. Perlunya pengkajian yang benar-benar matang sebelum diberlakukan merupakan salah satu hal wajib yang harus ditempuh. Jangan sampai langkah yang diambil masih mentah dan malah merugikan masyarakat.

Alhasil, kebijakan yang seharusnya melindungi malah seperti mencekik masyarakat sendiri. Sungguh ironi bukan? Jadi, pemerintah diharapkan bukan hanya membagi-bagikan sembako dan mengandalkan kartu pra kerja saja, melainkan melakukan tindakan yang lebih nyata dan berdampak panjang bagi rakyat, terutama segera memutus rantai penyebaran pandemi Covid-19  ini agar tidak semakin meluas dan cepat berakhir. Wallahu a’lam bi al-shawwaab

Oleh: Wahyuni Tri Ernawati*
Penulis adalah Kru Tim Web Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Saintek

Comments

Popular posts from this blog

Jenjang Pendidikan Formal Kader HMI

Implementasi Bersyukur dan Ikhlas dalam Meneguhkan Qalbu

Keteraturan Alam Semesta