Alih Fungsi Lahan Pertanian Usik Ekologi Pedesaan
Oleh: Wahyuni Tri Ernawati : Kabid PP HMI Komisariat Saintek, Mahasiswi Jurusan Pendidikan Biologi UIN Walisongo Semarang.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian yang marak terjadi beberapa tahun belakangan menimbulkan ancaman yang serius bagi keberlangsungan ekologi pedesaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa lahan-lahan yang awalnya diperuntukkan untuk bercocok tanam, kini beralih fungsi menjadi lahan pembangunan infrastuktur berupa jalan, rumah, gedung bertingkat, pabrik dan sebagainya. Dengan fungsi lahan yang berubah haluan itu membuat ekologi di pedesaan mengalami kerusakan yang lambat laun berdampak pada ketahanan pangan nasional.
Populasi penduduk dan perekonomian yang semakin meningkat menandakan permintaan lahan juga semakin besar. Dalam konteks tersebut, permintaan lahan yang dimaksud adalah lahan untuk ladang investasi properti. Lahan-lahan hijau seperti pepohonan di hutan dan lahan pertanian di pedesaaan digusur untuk memenuhi kebutuhan manusia. Padahal, jika hal tersebut terus dibiarkan tanpa pengendalian yang lebih lanjut, maka tidak mungkin tidak bila suatu saat nanti tiada lagi tempat untuk memproduksi bahan pangan dan tidak ada tempat bermukim bagi generasi yang akan datang.
Alhasil, siapa pihak yang akan bertanggung jawab ketika hal itu benar-benar terjadi? Mayoritas dari manusia mungkin akan lebih memilih bungkam daripada mengaku bahwa “akulah pelakunya.” Iya, tatkala kita memandang dari segala sisi, semuanya dapat dikatakan bersalah lantaran semua manusia turut andil dalam menjaga lahan-lahan tersebut. Semua manusia bisa saja berpartisipasi dalam penolakan alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian, asalkan ada kemauan dan keseriusan untuk mempertahankan lahan pertanian dan hutan-hutan sebagai ladang sumber daya alam sekaligus sedikit menekan ego yang ada dalam diri untuk tidak mengeksploitasinya.
Menuju Swasembada Pangan
Masyarakat Indonesia patut bersyukur karena dikaruniai kekayaan alam yang melimpah dibanding negara lain. Menurut Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No. 686/SK-PG.03.03/XII/2019 Tanggal 17 Desember 2019 tentang Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2019, luas lahan baku sawah (LBS) Indonesia sebesar 7.463.948 hektare. Dengan lahan yang sedemikian luas, masyarakat beserta pemerintah harus mampu mengelola lahan tersebut dengan sebaik mungkin agar benar-benar bermanfaat, bukan malah mendatangkan kerugian.
Namun sejauh ini, upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat tentang tata kelola lahan-lahan pertanian rasanya belum maksimal. Hal tersebut nampak pada menyusutnya ukuran lahan pertanian dari tahun ke tahun dan banyak lahan yang terlantar tidak diperhatikan. Padahal, Indonesia mempunyai target besar untuk mencapai swasembada pangan pada tahun 2045. Sementara lahan potensial yang tersedia jauh lebih rendah daripada jumlah lahan yang ditargetkan. Jika demikian, usaha untuk mewujudkan Indonesia sebagai lumbung padi dunia tentu akan terasa sukar.
Oleh sebab itu, pada masa sekarang Indonesia nampak bukan sebagai negara agraris. Hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya daya minat masyarakat tentang agraria. Itu menjadi hal yang wajar, karena kesejahteraan para petani kurang diperhatikan. Padahal merekalah orang yang berjasa ‘menelurkan’ tanaman kemudian dijadikan bahan baku pangan yang dibutuhkan manusia lain. Alih-alih memberi perhatian, malah ada oknum-oknum yang mempengaruhi para petani agar mau menyerahkan lahan pertanian mereka, baik secara sengaja maupun terpaksa. Kemudian lahan tersebut dialih fungsikan menjadi non-pertanian.
Alih fungsi lahan tersebut ternyata juga berpengaruh pada kondisi ekologi disekitarnya, terutama ekologi pertanian yang ada di pedesaan. Selain sebagai mata pencaharian, lahan pertanian di pedesaan berguna untuk menopang keasrian lingkungan. Sebab, lahan tersebut mengandung komponen-komponen untuk tempat ekosistem makhluk hidup yang disebut sebagai ekosistem sawah. Apabila lahan pertanian itu dialih fungsikan, otomatis ekosistem yang ada didalamnya menjadi terancam. Akibatnya, lingkungan menjadi tidak stabil. Terlebih semakin diperparah dengan timbulnya kerusakan lingkungan sebagai dampak dari pembangunan infrastruktur pada lahan tersebut.
Realita yang terjadi sekarang ini berbanding terbalik dengan pencapaian target Indonesia tentang swasembada pangan. Pemerintah masih mengimpor bahan baku pangan dari luar negeri, dan kurang memaksimalkan lahan pertanian. Selain itu, pada masa pandemi seperti ini diperkirakan akan terjadi krisis pangan, tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga dunia. Lantas, bagaimana cara untuk mewujudkan target tersebut?
Seharusnya pemerintah melakukan verifikasi serta sinkronisasi lahan sawah yang dilindung. Bukan hanya mengacu pada pembangunan infrastuktur saja yang dikebut, tetapi juga pemberdayaan lahan pertanian agar mampu menjadi lumbung pangan nasional. Mengingat, ekologi di pedesaan mengalami kerusakan yang drastis. Jika terus dibiarkan, alih fungsi lahan itu akan menyebabkan kerugian dalam jangka yang panjang. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Bahasan yang luar biasa
ReplyDelete