Menelaah Fenomena Irasional Islam Dari Perspektif Teori Atom Fisika
Sumber: PicsArt
Oleh: Muhammad Labib, Mahasiswa
Pendidikan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo
Upaya
dalam memahami bahasa agama atas konsep serta fenomena yang tak mengikuti
bahasa diskursif rasional atau saintifik, manusia harus mempertimbangkan segala
konteks sebuah pertanyaan yang sangat kompleks melampaui konteks logis dan
empiris. Hal ini tak lepas dari kontroversial dalam meragukan validitas kitab
suci Al-Qur’an. Polemik terkait sains dan islam bukanlah sebuah hal yang baru
untuk diperdebatkan. Dalam hubungan ini, positivisme manusia rasional di zaman
ini sejatinya merupakan ungkapan manusia yang menyombongkan diri yang
menganggap dirinya otonom, yang ingin menerima dunia sebagai dunia, bukan dunia
yang diresapi oleh kekuatan luar. Jadi positivisme adalah paham imanensi
ekstrem, menolak sama sekali hal-hal yang berbau transenden, karena mereka
berusaha untuk menyingkirkan kekuatan di luar diri manusia yang sering juga
dianggap sebagai takhayul belaka.
Keyakinan
manusia modern saat ini adalah berorientasi pada keyakinan yang
termanifestasikan secara jelas yaitu Scientific Method (Metode
Ilmiah), yang didirikan atas landasan utama yaitu deduksi rasional dan induksi
empiris. Sains itu mengandung kebenaran, itu sudah jelas, khususnya jika
dikaitkan dengan ihwal alam empiris dan pragmatis. Pernyataan lainnya bahwa
sains bisa menjelaskan semuanya itu sama sekali tidak sama dalam perihal bahwa
menyatakan bahwa sains adalah sumber segalanya. Maka, ketika sains dan agama
menunjukkan kesamaan-kesamaan diantara keduanya, di samping
perbedaan-perbedaannya. Seharusnya agama dan sains bisa saling mengisi satu
sama lain.
Statement Zakir Naik Mengenai Al Quran dan Sains
Seorang
pendakwah internasional, Zakir Naik pernah menyatakan dalam suatu statement
bahwa tidak ada kontradiksi antara Al-Qur’an dan sains, tidak ada satu ayat
Al-Qur’an yang berkontradiksi dengan fakta ilmiah. Ada beberapa hal yang
Al-Qur’an katakan, masih belum terbukti sains, yaitu adalah fenomena mistisme
seperti kehidupan setelah mati, surga-neraka, jin, malaikat, mukjizat para nabi
dan rasul, yang mana perihal ini masih dalam kategori ambiguitas walaupun dalam
agama wajib untuk diimani. Zakir Naik juga menegaskan bahwa Al-Qur'an jika
dianalisis, persentase kebenarannya kisaran 80% yang telah terbukti benar dan
masih ada 20% yang dikategorikan ambiguitas (bisa benar dan bisa salah), hal
tersebut dikarenakan keterbatasannya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi
yang masih belum bisa menyandingkan dan membuktikan atas kuasa tinggi dari
Allah SWT, Wallahu a'lam bish-shawab.
Interpretasi
filosofis dan mistisme perihal wujūd sebagai eksistensi
sekaligus intuisi mistisme. Pola eksistensialis melahirkan paradigma yang
berdasarkan tafsiran tentang wujūd dan mawjūd. Substansi
ini mencakupi makna kebenaran dan realitas. Dalam menentukan apakah sesuatu itu
benar dan nyata. Semuanya diwarnai oleh sistem metafisika yang terkonstruksi
dari pengembangan teori atom dan aksiden. Atom dengan the principle of
identity serta aksiden sebagai the principle of difference dan
eksistensialnya. Menyinggung tentang atom, hal tersebut senada dengan firman
Allah pada (QS Saba’(34): 3) yaitu:
قُلْ بَلٰى وَرَبِّيْ
لَتَأْتِيَنَّكُمْۙ عٰلِمِ الْغَيْبِۙ لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِى
السَّمٰوٰتِ وَلَا فِى الْاَرْضِ وَلَآ اَصْغَرُ مِنْ ذٰلِكَ وَلَآ اَكْبَرُ
اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍۙ
Artinya:
“Katakanlah, “Pasti datang, demi Tuhanku yang mengetahui yang gaib, Kiamat itu
pasti akan datang kepadamu. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sekalipun
seberat zarrah baik yang di langit maupun yang di bumi, yang lebih kecil dari
itu atau yang lebih besar, semuanya (tertulis) dalam Kitab yang jelas (Lauh
Mahfuzh)”.
Ayat
tersebut menerangkan tentang zarah atau partikel kecil yang tersembunyi dari
penglihatan manusia, namun tetap dalam pengamatan Allah. Zarah yang sangat
tidak kasat mata karena penyusun atom sangat sulit untuk diamati oleh indra
manusia dan hanya diketahui oleh indikasi yang ditimbulkannya. Kebenaran yang
berimplikasi pada alam semesta, bukan hanya semesta dalam kacamata empiris atau
rasionalis, melainkan mencakup terma lain yang berasal dari kata wujūd, yang
secara filosofis memiliki makna penting yaitu mawjūd. Istilah
ini dibedakan secara eksplisit dengan istilah wujūd, sebagai
“tindakan menjadi ada.” Titik awal ontologi al-Ghazali bukanlah basis fisik
dimana sesuatu itu ada, tetapi kesatuan dari sesuatu tersebut adalah sama.
Benar secara objektif belum tentu bisa dikatakan benar dari sudut pandang
subjektif. Demikian pula, apa yang dijelaskan oleh pikiran kita dapat diterima
secara konseptual (hubungan) atau empiris.
Baca juga: Menanggapi Isu Sosial-Kekeluargaan, Bidang PP Adakan Diskusi Childfree
Hasil Temuan Fisikawan
Fisika
merupakan salah satu cabang ilmu sains dan IPTEK yang mengkaji perihal bentuk,
struktur, karakter, dan fenomena alam yang dijabarkan berupa konsep, persamaan
matematis, dan hukum yang sesuai ruang lingkupnya. Di dalam dunia fisika,
terdapat konsep hukum fisika klasik. Fisika klasik berlaku secara universal dan
fundamental, yang dapat menjelaskan kejadian yang akan datang berdasarkan
keadaan awal. Ilmuwan fisika Niels Bohr dan Werner Heisenberg berupaya dalam
mengklasifikasikan sifat-sifat subatomik. Terdapat dua variabel peubah yang
ditentukan dalam mengklasifikasi sifat ini yaitu kedudukan partikel dan
momentumnya. Prinsip ini mengungkapkan bahwasanya manusia hanya dapat mengamati
secara teliti separuh dari realitas keadaan fisik suatu sistem. Dalam artian,
jika kita dapat mengukur posisi suatu partikel, pengukuran pada posisinya
menjadi tidak teliti. Sebaliknya, jika semakin teliti kita mengukur posisi
suatu partikel maka semakin tidak teliti pengukuran pada kecepatannya. Hal
tersebut dapat menyebabkan subatomik tidak bisa dilepaskan dari kesadaran
pengamatnya. Heisenberg mengemukakan pendapatnya bahwa ketidakpastian ini bukan
disebabkan oleh ketidakmampuan manusia ataupun keterbatasan alat, akan
tetapi pure dari sifat yang melekat pada alam
semesta. Alam pada basis subatomik seakan menolak untuk diketahui manusia.
Pengukuran
yang dieksplisitkan oleh Werner Heisenberg melalui prinsip ketidakpastian bahwa
pengamat mustahil mengukur dua partikel sekaligus secara pasti. Output dari
pengamatan tersebut akan selalu mempengaruhi output dari
sistem yang diamati, sebab indeterminisme sudah menjadi sifat yang esensial
dari sistem kuantum. Ada keadaan seperti ini, melemahnya energi dan frekuensi
maka momentum akan diketahui. Di mana atom nyaris kehilangan aspek getaran
gelombangnya, mengakibatkan posisinya bisa berada di mana saja. Termasuk saling
menumpuk menjadi satu sehingga apabila terdapat seribu partikel maka akan
berlaku seolah-olah hanya satu partikel saja. Hal ini selaras dengan Hukum
Ketidakpastian Heisenberg, jika momentum diketahui maka akan menyebabkan
panjang gelombang mendekati tak hingga, posisinya yang berada di mana saja,
saling menumpuk dan menjadi kabur dalam ruang dan waktu. Semakin tinggi suhu
suatu benda, maka semakin cepat vibrasinya. Berbanding terbalik jika suhu benda
semakin rendah maka semakin lambat pula vibrasinya. Hampir kehilangan vibrasi
yang mengakibatkan frekuensinya mengecil. Hal tersebut berbanding terbalik
dengan frekuensi, apabila frekuensi semakin mengecil maka panjang gelombang
akan semakin besar atau limit menuju tak hingga.
Fenomena Irasional
Salah
satu fenomena irasional dalam islam adalah Peristiwa Isra’ Mi’raj. Perjalanan
Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Palestina
kemudian diangkat ke Sidratul Muntaha yang berada di langit ketujuh dalam waktu
tempuh hanya satu malam. Meninjau fenomena tersebut dari kacamata analogi teori
atom yang berkesinambungan, apabila Nabi Muhammad SAW “didinginkan” atau
energinya di nol-kan maka akan berubah ke bentuk yang baru bukan gas, cair,
padat maupun plasma, hal ini dikenal dengan istilah The New State of
Matter dimana seluruh partikel atau atom-atom seolah bertumpuk dan
berlaku sebagai sebuah partikel (atom) saja. Dengan pandangan Bose-Einstein
Condensate, maka apabila Nabi Muhammad SAW “didinginkan” atau energinya dikosongkan
maka panjang gelombang akan mendekati tak hingga sehingga Nabi Muhammad SAW
dapat muncul di mana saja dalam ruang waktu dalam kesatuan wujud (ruh dan
jasadnya). Ketika suhu diturunkan, energi dan frekuensinya berubah menjadi nol,
dengan demikian panjang gelombang akan berbanding terbalik merentang hingga tak
hingga. Dengan kata lain, objek "bisa berada di mana saja" dalam
ruang dan waktu. Akibat yang paling esensial adalah tidak ada jarak eksisten
yang berada di alam semesta, baik dalam konteks ruang maupun waktu.
Ketika
frekuensi diturunkan, maka berbanding lurus dengan energi yang juga akan
mengecil. Energi dalam ruang kesadaran akan membentuk ego. Semakin kompleks
sebuah struktur, maka energi ikatannya semakin tinggi, artinya egonya semakin
besar pula. Penurunan energi sama dengan penurunan sang Ego, yaitu ego yang
senantiasa pasrah pada apapun kehendak Sang Pencipta. Pada saat hal itu
terjadi, faktor jarak tidak lagi menjadi hambatan. Terlepas dari ukuran alam
semesta yang berukuran 13,7 miliar tahun cahaya. Tak peduli berapa luas langit
di atasnya yang besarnya triliun triliun kali lebih besar lagi dibanding alam
materi ini. Semua tak lagi berjarak, karena dia ada dimana mana dalam seluruh
ruang dan seluruh momen waktu.
Fenomena
irasional dalam islam lainnya adalah pemindahan singgasana Ratu Bilqis.
Peristiwa ini merupakan fenomena kejadian yang menggunakan konsep teleportasi
pada masa Nabi Sulaiman AS. Kejadian tersebut juga diceritakan dalam Surah
An-Naml ayat 40. Konsep teleportasi tidak melanggar dari Teori Ketidakpastian
Heisenberg yang pernah dilakukan oleh para ilmuwan Institut Teknologi
California dalam eksperimen teleportasi foton yang dijelaskan secara teori oleh
Bennet. Tim peneliti tersebut berhasil membaca informasi foton mengirimkan
informasi tersebut melewati kabel koaksial sepanjang satu meter dan menciptakan
replika foton tersebut. Ternyata foton yang pertama menghilang setelah
replikanya muncul. Tim penelitian Caltech tersebut berhasil mengatasi kesulitan
dalam menentukan posisi dan momentum foton akibat prinsip ketidakpastian
Heisenberg yang merupakan tantangan terbesar dalam melakukan teleportasi objek
yang sangat kecil. Seperti teori ketidakpastian Heisenberg yang sudah
disinggung sebelumnya bahwa pengamat tidak bisa mengamati posisi dan momentum
suatu zarah (partikel) secara bersamaan. Jika suatu pengamat tidak dapat
menentukan suatu posisi atau momentum zarah atau partikel maka akan sulit
melakukan teleportasi. Teleportasi tersebut dapat dilakukan tim tersebut tanpa
melanggar Prinsip Heisenberg dengan menggunakan fenomena entanglement. Jika
manusia dapat diubah menjadi bentuk foton maka prinsip teleportasi dapat
dilakukan. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa materi dapat berubah.
Yang
menjadi tanda tanya besar ialah apakah mungkin bisa mengkonversikan energi
menjadi cahaya atau energi? Adapun teori yang dapat menjawab dan menjelaskan
hal tersebut adalah teori annihilasi.Teori ini berlandaskan atas kenyataan
bahwa materi (zat) mempunyai anti materi. Jika materi partikel direaksikan
dengan anti materinya maka kedua partikel tersebut lenyap menjadi gelombang
elektromagnetik atau foton dengan energi tertentu dan energi dapat
dikonversikan menjadi materi. Setiap objek yang memiliki massa dalam alam semesta
ini, pada dasarnya tersusun dari partikel-partikel sub-mikroskop yang dikenal
dengan proton, neutron, dan elektron. Pasangan materi adalah anti-materi. Foton
tidak mempunyai massa tetapi memiliki energi dan momentum. Anihilasi atau
proses pemusnahan terjadi jika antimateri bergabung dengan materi. Apabila
antara keduanya bertemu dan bergabung maka keduanya akan lenyap dan berubah
menjadi dua foton yang tidak memiliki massa.
Dari
kisah yang ditafsirkan pada surah An-Naml ayat 40, bahwa kejadian teleportasi
membawa singgasana kerajaan Ratu Bilqis adalah oleh ilmuwan dan bukan oleh jin
Ifrit. Kita tidak mengetahui apakah ilmu yang digunakan adalah ilmu pengetahuan
ataupun ilmu lainnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu manusia lebih unggul
dari pada pengetahuan dan kekuatan jin. Mungkin saja pada zaman Nabi Sulaiman
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang pesat, Wallahu
a'lam bish-shawab. Karena di tengah puncak kejayaannya, Nabi Sulaiman
pernah berdoa meminta mohon kepada Allah agar kemampuan atau penguasaan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya itu tidak diberikan kepada siapa pun juga setelah
peninggalannya. Hal ini tertulis di dalam Al-Qur’an pada (QS. Shaad (38): 35)
yang mana artinya: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah
kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku,
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.”
Meskipun
indra dan nalar berperan sentral, kondisi normal saja ini bukanlah kondisi yang
cukup. Indra hanya memotret realitas material yang sifatnya parsial dan
membutuhkan kecerdasan untuk menggeneralisasi. Seperti diketahui, para filsuf
menyebutkan beberapa sumber pengetahuan seperti alam fisik, alam akal, analogi,
serta hati dan ilham. Karena itu, kebenaran hakiki pada pendekatan ontologi
al-Ghazali bukanlah hanya hasil pemikiran manusia, melainkan kebenaran yang
juga dituntun oleh wahyu.
Comments
Post a Comment