Jalan Ninja Berbisnis Politik

 


Oleh: Alwi Ahmad Sulthon

“Tiada kawan atau lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”

Barang kali masih ingat sejarah hidupnya negeri yang nyaris tidak memiliki prinsip etika-politik dengan hiruk piruk era reformasi yang begitu membahana. Bahwa sejak saat itu rezim Orde Baru tumbang, negeri ini seakan berada pada titik koordinat nadir ketidakjelasan. Demokrasi yang konon mampu memberikan jaminan kesejahteraan hidup makmur bagi seluruh warganya nyatanya sampai sekarang masih banyak persoalan, bahkan persoalan itu kian menggunung dari tahun ke tahun, baik di lingkungan pemimpinnya maupun rakyatnya.

Inilah kenyataan yang tengah dihadapi. Bahkan sampai saat ini mungkin masih ada yang bertanya ada apa dengan Indonesia ? Atau bahkan mungkin masih bingung dengan konsep dan sistem demokrasi.

Setelah era reformasi ditabuh dengan jargonya “kedaulatan rakyat”. Maka saat itulah wacana demokrasi terealisasikan bertemu momentumnya. Rakyat adalah tuan yang harus dilayani seakan berada dalam surga di mana politisi harus benar-benar menjadi pemimpin akar rumput yang berjuang atas nama rakyat dengan prinsip demokrasi.

Akan tetapi, betapa banyak kenyataan yang pantas dibentangkan, khususnya setelah rezim Orde Baru itu tumbang, yang mengisyaratkan bahwa di tengah kelangsungan hidup negeri ini penuh politikus-politikus yang rakus, sangat berbakat  mengonsep banyak janji dan sangat semangat merebutkan kedudukan ‘kursi’.

Hal ini senada dengan maraknya politisi-politisi kelas teri yang tiap kali pemilu digelar mendaftarkan diri jadi calon pemimpin. Meskipun secara garis kapasistas intelektual dan kesiapan mental berada dibawah standar, namun mereka tetap berspekulasi mengundi nasib.

Dalam konteks ini, apa yang dilakukannya soalah-olah murni dari hati nurani bukan karena bidak-bidak nafsu kekuasaan. Dalihnya untuk kesejahterakan masyaarakat, dan kemakmuran bersama sesuai cita-cita dan tujuan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Sehingga tak heran jika mereka lihai membuat janji-janji politik yang menghiurkan hati masayarakat. Jani-janji itu terus dituang dan dikemas dalam baliho-baliho besar kemudian disampaikan dengan bahasa-bahasa yang menarik saat musim kampanye. Disosialisasikan langsung ke masayarakat lewat dunia maya, lewat pendekatan ke beberapa tokoh masayarakat dan lain sebagainya. Dan begitulah kelumrahan yang terjadi.

Jika mengkritisi lebih lanjut sepertinya hal tersebut kurang sesuai, bahkan bila boleh dikatakan sangat tidak sesuai dengan apa yang dilakukannya. Demikian karena janji-janji yang dikampanyekan hanyalah suci diatas kertas sebagai formalitas belaka atau semacam kebiasaan yang begitu mudah diungkapkan tanpa ada tidak lanjut yang jelas.

Inilah potret buram etika dan politik di Republik ini. Baik calon –mulai dari kepala desa, camat, bupati, gubernur, calon legislatif hingga presiden sudah tentu jika hanya melakukan janji-janji politik sama artinya munafik. Sebab, janji politik berhubungan dengan kepentingan umum, sedangkan yang dilakukannya sama sekali tidak menargetkan itu. jadi tidak ada titik korelasi sedikit pun dengan apa yang kelak mereka lakukan kecuali memainkan jabatannya dengan menumpuk materi sebanyak-banyaknya dan sepuas-puasnya.

Dengan kata lain politik hanyalah sebuah ladang ‘bisnis’ untuk meraup untung kapan saja dan dengan alasan apa saja. Janji politik hanyalah sebuah instrumen untuk memancing peluang ‘bisnis’ sedangkan kampanye merupakan jalan untuk ber_”iklan”. Maka kemunafikan para politisi berbasis ‘bisnis politik’ itu makin terniscayakan dengan kepentingan-kepentingan pragmatis yang menjijikkan.

Setelah calon dinyatakan resmi menjadi pemenang suara terbanyak, barulah kepentingan-kepentingan pragmatis itu mulai dilancarkan. Jika kemudian hari sekelompok masyarakat atau mahasiswa demo mendatangi menagih janji-janji yang pernah disampaikannya, itu urusan mudah. Dapat dintisipasi dengan sekian apologi dan penyangkalan-penyangkalan yang rasional.

Mengapa “bisnis politik”?

Persoalannya sekarang, mengapa begitu mudah politik dijadikan wahana berbisnis, bukankah politik itu perihal memimpin rakyat dan mengurus negara. Tegas saja karena politikus itu sedang terperangkap dalam pola pikir yang zhalim. Pandangan mereka jauh dari pemahaman yang sebenarnya bagaimana kekuasaan itu mesti dijalankan. Tidak ada nilai moral, etika, dan nilai-nilai kapasitas yang jadi pegangan.

Kemudian saat musim kampanye, mereka bermain menggunakan ‘kontrak politik’ dengan rakyat. Meminjam pendapatnya Andi Setiadi yang ditulis dalam bukunya PHP (Politik Harapan Palsu), mengatakan bahwa keterbukaan antara rakyat dan calon pemimpin adalah salah satu bentuk “kontrak politik”. Artinya, melalui wadah ini rakyat menyampaikan keinginan-keinginannya, kemudian diapresiasi dan ditindak lanjuti oleh seorang pemimpin dalam wujud progam kerja. Hal ini dimaksudkan sebagai sebuah kepastian dalam mengemban amanah rakyat. Namun, faktanya itu hanya sebuah formalitas.

Kenapa bisa demikian? Jawabannya tidak lain adalah karena dinamika politik di negri ini dijadikan parameter “untung –rugi”.

Menurut A. Yusrianto Elga (2013), logika “untung-tugi” begitu dominan dan menjadi prinsip dasar para politisi. Panggung politik tak ubahnya ladang bisnis. Barang siapa yang memiliki modal, bertaruhlah di pentas politik karena keuntungan materi yang didapat sungguh menghiurkan.

Berangkat dari sinilah perang kompetisi para pedagang politik (political merchandiser) ditabuh. Semuanya berlomba mengundi nasib dalam bisnis politik yang menjanjikan. Tiada mengenal lagi kemaslahatan umat sebagaimana juga tidak berlaku keadilan sosial. Karena logika untung-rugi jadi pijakan yang amat kuat.

Logikanya jika pedagang politk itu mengeluaran modal 2 miliar saat kampanye, untuk menduduki kursi pemerintahan, maka dia harus berpikir bagaimana modal yang dikeluarkan harus kembali dengan laba berlipat-lipat. Sehingga seperti sebuah kewajaran bagi mereka jika menggunakan praktik-praktik yang zhalim. Dalam konteks inilah korupsi tidak terhindarkan. Korupsi menjadi jalan ninja satu-satunya yang harus ditempuh demi “laba” dagangannya.

Semakin banyak modal yang dikeluarkan, maka titik akhirnya pasti banyak. Adapun janji-janji yang ditawarkan dulu hanyalah bagian dari mekanisme politik yang memang mengharuskan demikian.

Seolah-olah politik itu bukan soal kebenaran, tapi kepentingan. Politik bukan masalah siapa “menghasilkan” apa. Namun, soal siapa “mendapatkan” apa. Inilah yang menyebabkan adagium politik moncer di hati nurani masayarakat : tiada kawan atau lawan yang abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi.

Begitulah implikasi yang masih menjadi cara pandang politik yang sedemikian zhalim. Jika para pemimpin masih melakukan praktik “bisnis politik”, maka jangan harap ada kedewasaan berpolitik di antara masyarakatnya. Jangan mengharapkan ada kejujuran hati nurani saat pemilihan pemimpin.

Sebab itu, jangan hanya menyalahkan rakyat jika mereka melampiaskan ketidakpuasannya dengan cara “absen” dari hiruk piruk politik. Jangan disalahkan jika mereka menjadi pasif dan tak mau tahu tentang politik. Jangan menyalahkan rakyat jika kemudian hari saat pemilu dilakukan mereka menjadi sekelompok orang-orang yang golput.

Jika demikian, bangsa ini pantas akan bertemu suatu masa “trauma politik”, karena tiada harapan yang bisa dijadikan pijakan lagi. Sementara cita-cita dan tujuan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 sedikit-demi sedikit akan dilupakan.

 wallahu a’lamu bis showab.

Comments

Popular posts from this blog

Jenjang Pendidikan Formal Kader HMI

Implementasi Bersyukur dan Ikhlas dalam Meneguhkan Qalbu

Keteraturan Alam Semesta