Wacana Penundaan Pemilu Tak Relevan

 

(Sumber: Google)


Oleh : Firman Hardianto*

*Mahasiswa UIN Walisongo dan Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Saintek

Beberapa waktu belakangan, penundaan Pemilu menjadi topik yang banyak diperbincangkan. Wacana tersebut dimulai dari pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia pada Ahad (9/1/2021) dalam sebuah diskusi di Jakarta. Bahlil memberikan keterangan dari pelaku usaha rata-rata berharap agar penyelenggaraan Pemilu 2024 ditunda. Harapan ini didasari oleh pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19.

Pernyataan Bahlil tentu menghadirkan konflik diskursus, khususnya di media maya. Konflik ini hadir karena penundaan Pemilu akan secara langsung berimbas pada masa jabatan presiden. Landasan yuridis nasional pada UUD 1945 pasal 7 secara tegas menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya penundaan Pemilu berpotensi melanggar konstitusi, apapun dasar yang dipakai.

Padahal Pemilu berfungsi untuk memilih wakil rakyat pada wilayah kekuasaan legislatif dan eksekutif. Jika Pemilu ditunda tentu dapat mengakibatkan masalah baru bagi wilayah kekuasaan tersebut. Khususnya pada ketaatan dalam melaksanakan konstitusi yang menjadi dasar pelaksanaan negara.

Kacamata Sejarah Masa Jabatan Eksekutif

Melihat sejarah, Indonesia pernah mengalami masa dimana jabatan presiden tak dibatasi. Hal ini terjadi di era orde lama melalui Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang pengangkatan pemimpin besar Revolusi Indonesia Soekarno sebagai presiden RI seumur hidup. Pada masa orde baru pun Soeharto dapat terpilih sebanyak 6 kali dan tidak ada pembatasan keikutsertaan dalam Pemilu.

Keadaan masa jabatan tak dibatasi tersebut ternyata menimbulkan kegaduhan politik yang menyebabkan berbagai upaya pelengseran presiden. Lantas pasca lengsernya Presiden Soeharto dari kursi nomor satu di Indonesia itu memunculkan kesepakatan untuk membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden. Yaitu melalui Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Kemudian pada Sidang Umum BP MPR 1999 Ke-2 pada 6 Oktober 1999 disepakatilah bahwa masa jabatan presiden dibatasi maksimal dapat menjabat dalam dua periode kepemimpinan.

Pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden bukan tanpa alasan. Peneliti Kajian Politik Kompas, Yohan Wahyu (2022) menyatakan bahwa pembatasan akan menjamin adanya pergantian kekuasaan secara demokratis. Selain itu, membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi suatu antitesis dari praktik kekuasaan otoriter yang selama 32 tahun dilakukan ketika rezim orde baru berkuasa dengan minimnya kontrol publik.

Penundaan Pemilu Hanya Kepentingan Sebagian Pihak

Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menyatakan bahwa usulan penundaan Pemilu dilatarbelakangi oleh pola piker otoritarian. Usulan tersebut menjadi secara implisit dapat dimaknai sebagai ketidakpercayaan pada proses demokrasi yang akan dilaksanakan melalui Pemilu. Ketidakpercayaan tersebut dianggap dapat menjadi ancaman dan menimbulkan instabilitas ekonomi. Padahal selama ini, Indonesia telah beberapa kali menggelar pilkada dan pemilu di tengah situasi yang tidak mudah.

Penundaan Pemilu dapat dipandang sebagai wacana yang muncul dari kepentingan sebagian pihak. Pasalnya, wacana penundaan Pemilu telah menodai eksistensi konstitusi yang telah disepakati dalam pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lima tahun kepemerintahan dan maksimal dua periode kepemimpinan. Bagaimanapun alasan yang dikeluarkan, pemerintah harus tampil sebagai garda terdepan dalam hal kepatuhan terhadap konstitusi nasional.

Dilansir dari Harian Kompas (26/2/2021), Presiden Joko Widodo telah berulang kali menyampaikan sikap menolaknya terhadap perpanjangan masa jabatan presiden. Sikap tersebut disampaikan pada 2 Desember 2019 dan 15 Maret 2021. Bahkan ketika Desember 2019, Presiden telah menyatakan bahwa jika ada yang ingin presiden menjabat tiga periode, berarti orang itu ingin menampar muka presiden, mencari muka, atau menjerumuskan presiden.

Usulan mengenai perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu merupakan bentuk ketidakpercayaan pada konstitusi yang telah berjalan semenjak pembatasan masa jabatan presiden ditetapkan. Padahal sejarah menunjukkan bahwa pembatasan masa jabatan presiden menjadi suatu bentuk yang tepat untuk dilaksanakan mengingat pentingnya pergantian kekuasaan. Situasi seperti apapun, tidak relevan menunda pemilu karena hanya memikirkan kepentingan sebagian pihak. Kepentingan nasional berdasarkan konstitusi wajib didahulukan yaitu melaksanakan Pemilu sesuai tenggat waktu yang telah ditetapkan. Wallahu’alam bishshawwab.


Comments

Popular posts from this blog

Jenjang Pendidikan Formal Kader HMI

Implementasi Bersyukur dan Ikhlas dalam Meneguhkan Qalbu

Keteraturan Alam Semesta